Harita Nickel Mendukung Pemerintah Menurunkan Emisi Karbon

Harita Nickel merupakan salah perusahaan tambang nikel yang ada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Saat ini nama perusahaan tersebut dikenal oleh banyak orang, karena sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik di Indonesia sejak 23 Juni 2021 yang lalu. 

Dibalik kesuksesan PT.Harita Nickel ada sosok Rico Windy yang terus memikirkan inovasi terbaru agar tambang nikel tetap banyak digunakan masyarakat Indonesia. Sampai dengan saat ini matanya selalu menatap lekat di benda kokoh berbentuk tabung besar dengan panjang 36 meter, diameter 5 meter dan bobo sekitar 900 ton. 

Pikirannya terus melambung jauh di dalam setiap hari mengenai masa depan gemilang yang sudah dibawa setiap ton bijih limonit (nikel berkadar rendah) di tabung tersebut. Tepat berada di benda tabung tersebut, ada bekal masa depan kendaraan listrik yang semakin berjalannya waktu membawa dunia pada solusi atas polusi udara. 

Mengenal Teknologi HPAL untuk Proses Pengelolaan Nickel

Kini Indonesia mempunyai teknologi baru, yaitu HPAL. Hingga saat ini belum ada juga perusahaan yang berhasil menerapkan dari teknologi tersebut. 

Beberapa waktu yang lalu Rico Windy sempat ragu di saat pertama kali bergabung dengan PT. Harita Nickel. Namun, tekan dari beliau dengan lulusan pendidikan S1 dari Teknik Industri Universitas Hasanuddin dan S2 Manajemen Bisnis dari Universitas Bina Nusantara ini tidak surut. 

Beliau tetap terpacu untuk segera bisa menghadirkan teknologi HPAL di dalam negeri Indonesia. Terlebih untuk teknologi HPAL Harita Nickel ini sudah tergolong ramah lingkungan, karena di dalam memanfaatkan energinya lebih minim dibandingkan teknologi pengolahan nikel yang sejenis.  

Tentu saja untuk emisi yang dihasilkan ini juga ikutan rendah. Rico Windy juga sudah menegaskan, bahwa “ini menjadi salah satu wujud kontribusi Harita Nickel di dalam upaya net zero emission”. 

Belum sampai disitu, produk dari Harita nickel juga mempunyai peran yang besar terhadap penurunan emisi bermotor di dunia dan menjadi bahan baku baterai pada mobil listrik. Rico Widya memang sudah lama mendambakan, untuk penerapan teknologi di tanah air Indonesia ini sejak beliau mulai pertama kali mulai berkarir. 

Sebelumnya, beliau juga pernah meniti karir kurang lebih 25 tahun di salah satu perusahaan tambang dan pengolah nikel swasta di Indonesia. Saat itu, perusahaan dimana tempat biliar bekerja sedang berupaya untuk menerapkan teknologi HPAL di dalam mengelola nikel limonit. 

Sayangnya, untuk nilai investasi yang sangat besar ini juga memberikan risiko tinggi dan menjadikan protek tersebut sangat sulit sekali untuk diimplementasikan.Rico Widya mendengar, bahwa PT. Harita Nickel saat ini bertekan untuk mengadopsi teknologi HPAL di salah satu fasilitas pengolahan nikelnya dan beliau akan ikut berkontribusi mengenai hal tersebut. 

Perjalanan Rico Widya dimulai sejak tahun 2019 yang lalu. Pada tahun tersebut penuh dengan tantangan, karena untuk konstruksi pabrik HPAL ini baru saja dimulai dan 1 tahun kemudian diterpa oleh Pandemi Covid 19. 

Kondisi tersebut menyulitkan arus barang dan masuknya tenaga kerja di suatu perusahaan. Begitu juga dengan implementasi teknologi di dalam perusahaan juga membutuhkan adaptasi dan sinergi dari tenaga ahli maupun karyawan lokal. 

Rico Widya mengatakan, bahwa “Mengingat untuk hal ini merupakan teknologi pertama kali yang ada di Indonesia. Maka dari itu, kita harus banyak belajar lagi. Di dalam posisi tersebut juga terjadi transfer ilmu pengetahuan dan teknologi sejak awal proses pembangunan dan operasional sampai dengan saat ini”. Halmahera Persada Lygend (HPL) adalah joint venture diantara Harita Nickel dengan perusahaan asing. 

Manfaat Teknologi HPAL dalam Pengelolaan Nickel

Untuk penerapan teknologi ini juga memberikan kesempatan kepada anak bangsa untuk belajar mengenai beberapa hal yang baru. Sebagai pemimpin, Rico Widya juga menyadari, bahwa untuk akulturasi i budaya dan karakter kerja juga menjadi suatu tantangan tersendiri dan sering dihadapi bersama tim. 

Namun, semua hal tersebut sudah terobati dengan pertama kali memproduksi Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) di 23 Juni 2021 yang lalu. Untuk waktu konstruksi sampai dengan produksi ini membutuhkan waktu sekitar 28 bulan dan menjadi prestasi sendiri di alam proyek bernilai Rp15 triliun ini. 

Sebelum, untuk nikel limonit ini tidak dimanfaatkan sama sekali karena kadarnya sangat rendah yaitu (<1,5%> dan termasuk di dalam jenis batuan penutup atau overburden. Namun, sembari berjalannya waktu kini nikel limonit mempunyai nilai strategis dan menjadi material yang banyak dicari oleh para produsen baterai dari kendaraan listrik di dunia. 

Berhasilnya PT. Harita Nickel melalui Halmahera Persada Lygend ini menjadi jalan pembuka bagi Indonesia untuk semakin menunjukkan , bahwa kiprahnya sebagai pemain utama di dunia mengenai industri baterai kendaraan listrik. Harita Nickel juga menjadi salah satu pionir di Indonesia di dalam pemurnian bijih nikel kadar rendah menggunakan teknologi HPAL. 

Bahkan, untuk Harita Nickel juga membawa Indonesia ke satu langkah lebih depan sebagai produsen bahan baku baterai dari kendaraan listrik yang sudah diperhitungkan dunia. Untuk teknologi HPAL ini memberikan kemungkinan, bijih limonit yang berkadar rendah ini bisa dimanfaatkan dan mempunyai nilai ekonomis. 

Tentu saja dengan hal tersebut menjadi salah satu upaya konservasi mineral. Di dalam proses pengolahannya memanfaatkan asam sulfat sebagai sumber energi yang bisa menghasilkan Mixed Hydroxide Precipitate (PHP). Produk yang satu ini akan diproses lebih lanjut menjadi nikel sulfat dan kobalt sulfat dari bahan baku utama baterai kendaraan listrik. 

Sampai dengan saat ini, untuk PT. Harita Nickel terus berkembang dan semakin banyak pula industri yang membutuhkan bahan baku di dalam proses pembuatan baterai kendaraan listrik. Tidak heran lagi, ketika PT. Harita Nickel ini sudah banyak dikenal oleh masyarakat dalam atau luar negeri, khususnya para pemilik usaha.